Belajar Tasawuf kepada KH. Ach. Hariri Abdul Adhim
Rabu 7 November 2018, Media timesindonesia.co.id memuat berita yang berjudul “KH Hariri Abdul Adhim, Sosok Ulama Sufi dari Malang”. Berita ini di-post beberapa jam setelah Mudir Ma’had Aly Situbondo tersebut mengahadap ke hariba’an Allah SWT. Tidak hanya itu, media sosial juga ramai dengan kisah-kisah hidup beliau yang bernilai sufistik dan mencerminkan kesufiannya.
Di antara kisah yang diungkapkan alumni Ma’had Aly Situbondo adalah saat Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo tersebut meminta santri-santri mencukur rambutnya. Salah satu santri yang beruntung tersebut adalah Walid. Walidpun menghadap untuk melaksanakan khidmah. Pada saat Walid mulai merapikan rambut sang Guru, ada bau tidak sedap yang tercium, tetapi Walid tetap merapikannya. Saat sang santri mulai terganggu dengan bau tersebut, dia membatin, “obuknah kyaeh beuh (rambutnya kyai bau)”, “mun beuh pa betta ye lid (kalau bau ditahan ya)”, jawab kyai lirih.
Mendengar kyai Hariri menjawab kesan bathinnya, akhirnya santri tersebut membathin lagi, “ternyata aku sedang mencukur rambutnya waliyullah”, dengan segera kyai pun menjawabnya langsung , “enjek engko benni weli gi’en, todus ka ke As’ad (belum, saya belum menjadi Wali, malu saya sama Kyai As’ad)”.
Mengalami kejadian yang menakjubkan tersebut, Walid salah tingkah sehingga hilang konsentrasi dan malangnya tidak sengaja membuat kesalahan dalam mencukur. Sebelum ketahuan kyai, Walid berusaha memperbaiki potongan rambut Kyainya. Lagi-lagi Kyai Hariri menimpali, “dinah lah tak pa apah, jek gik tombueh pole (sudahlah, biarakan saja, nanti tumbuh lagi)”
Dari kisah tersebut sangat jelas berbeda dengan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Kenapa pengetahuannya berbeda? Karena modus pengetahuannya berbeda. Untuk berkomentar tentang suara bathin Walid tentunya harus tahu Walid dengan baik, butuh waktu bertahun-tahun, itupun belum tentu pengetahuannya benar.
Kalau penulis ditanya, “Man hua Walid wa ma adraaka man Walid (siapa itu Walid dan apakah kamu tahu hakikat Walid)?” mungkin saya akan menjawab, Walid adalah santri, itu saja. Akan tetapi, lebih baik saya tidak menjawab pertanyaan ini, karena saya belum memiliki pengetahuan sebagaimana pengetahuan KH Hariri. Namun demikian saya akan sedikit menjelaskan tentang modus pengetahuan para Sufi dengan non Sufi.
Baiklah, kita masuk pada pembahasan. Sufi mengenal objek mereka melalui pengalaman spiritual yang disebut dengan Dzauq (rasa). Artinya, sufi mengetahui sesuatu melalui dzauq melampaui nalar empiris dan rasionalitas. Dzauq adalah karunia Allah yang diberikan kepada kekasihnya. Seorang sufi memiliki kelebihan karena hal ini. Artinya, sufi mengalami langsung atau masuk dan hadir dalam diri objek atau dengan istilah lain menembus jantung objek.
Agar lebih mudah dipahami, kita masuk pada perbedaan Modus pengetahuannya. Di sini akan semakin jelas perberbedaan modus pengetahuan sufi dengan non sufi. Ada perbedaan yang tajam antara a) mengetahui tentang sesuatu dengan b) mengetahui sesuatu. Contohnya, a) Mengetahui tentang madu yang rasanya manis adalah berbeda dengan b) mengetahui manisnya madu. Poin a) adalah pengetahuan non sufistik, sedangkan poin b) adalah pengetahuan sufistik.
Mengetahui tentang Walid adalah berbeda dengan mengetahui Walid, pengetahuan pertama sifatnya penjelasan, konsep-konsep dan rangkaian kata-kata, bersumber dari sosok lahiriyah Walid dan diperoleh utamanya melalui indera penglihatan dan disimpulkan dengan rasio. Pengetahuan kedua adalah pengetahuan Sufi yang mengalami langsusng dan masuk dalam diri Walid. Pengetahuan pertama adalah kasbi sifatnya diusahakan, sedangkan pengetahuan kedua adalah wahbi pemberian dari Allah.
Sumber : http://mahadaly-situbondo.ac.id/belajar-tasawuf-kepada-kh-ach-hariri-abdul-adhim/
0 Komentar