Filsafat Tanpa Imajinasi?



Hasil gambar untuk imajinasi filsuf 
Situasi ujian lisan filsafat ilmu (5/12/2017). Foto diambil dengan persetujuan mahasiswa.
Dapatkan orang mempelajari filsafat tanpa imajinasi? Dengan "imajinasi" saya maksudkan sebagai "kemampuan kreatif individu dalam membentuk atau membangun imaji/citra/gambaran, gagasan, dan berbagai sensasi di dalam pikirannya tanpa input atau data penginderaan langsung, entah itu melihat, mendengar, merasakan, menyentuh, dan semacamnya (soal imaginasi).
Pertanyaan ini lahir dari "kegalauan" saya selaku dosen filsafat yang selalu merasa semakin tahun semakin rendah saja minat dan ketertarikan mahasiswa memelajari filsafat. Sebagai latar belakang, setiap semester Ganjil saya pasti mengajar Filsafat Ilmu di Fakultas psikologi dan Bioetika di Fakultas Teknobiologi. Semuanya di Kampus Saya, Unika Atma Jaya Jakarta.
Saya menganggap pertanyaan ini penting lantaran cara mahasiswa menyerap dan memahami filsafat itu seperti membaca dan memahami teks ilmu alam dan ilmu hafalan lainnya. Saya berani mengatakan bahwa mahasiswa sekarang umumnya tidak memiliki imajinasi dalam berpikir. Lebih mengkhawatirkan lagi, mereka tidak memiliki kreativitas dan keberanian dalam berpikir.
Mereka sudah memiliki "pakem" atau pola (pattern) berpikir tertenu yang diindoktrinasi ilmu mereka (ilmu yang menjadi program studi atau jurusan mereka) yang menyulitkan mereka keluar dari cara berpikir keilmuan tersebut.
Demikianlah, misalnya, ketika saya mengatakan bahwa "kehidupan yang membahagiakan tidak ditentukan oleh berapa banyaknya uang yang dia belanjakan ketika bepergian ke luar negeri, tetapi oleh bagaimana orang itu merealisasikan seluruh potensi dirinya, apakah orang itu dapat memahami pernyataan ini tanpa misalnya merujuknya ke pernyataan Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, yang membanggakan dirinya sebagai orang kaya dan berbahagia karena membelanjakan paling sedikit 5 Milyar Rupiah sekali bepergian keluar negeri?
Seperti biasanya Ujian Akhir Semester (UAS) mahasiswa psikologi yang mengambil kuliah Filsafat Ilmu diselenggarakan secara lisan. Saya sudah membagikan kisi-kisi ujian lisan kira-kira sebulan yang lalu dan berharap mahasiswa dapat memelajari materi berdasarkan kisi-kisi tersebut supaya bisa memasuki ruangan ujian lisan dengan rasa percaya diri yang agak tinggi dan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Meskipun begitu, berkaca pada hasil ujian tengah semester, penilaian atas paper/makalah yang mereka hasilkan serta catatan atas dinamika kelas, saya sebenarnya agak "pesimis" mahasiswa saya bisa menunjukkan performa yang baik.
Anda bisa bayangkan sendiri. Bahkan ketika persiapan menghadapi ujian lisan telah dibantu dengan kisi-kisi saja mahasiswa tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, apalagi tanpa kisi-kisi. Demikianlah, kelompok demi kelompok segera duduk di hadapan saya dan siap menjawab berbagai pertanyaan dari saya. Setiap kelompok yang terdiri dari 3 mahasiswa itu akan diuji secara lisan selama 30-40 menit.
Untuk meminimalisir rasa kecewa atas performa yang buruk, saya bahkan mengajukan pertanyaan pertama yang sungguh amat sederhana. Sambil menyebut nama, saya bertanya, "Kamu merasa paling siap di bagian apa dari materi yang dipelajari?"
Jangankan mengharapkan jawaban tegas, cukup banyak yang bahkan tersenyum sambil mengatakan, "Membaca semuanya sih pak, tapi sedikit-sedikit." Masalahnya, dari sedikit yang mereka ketahui itu, pengatuan mereka pun tetap sedikit.
Seorang mahasiswi saya minta menjelaskan apa itu "kualitas primer" dan "kualitas sekunder" sebagai kategori dalam memahami fenomena berdasarkan pemikiran John Locke.  Di luar dugaan saya -- itu karena kehadiran mahasiswi ini 'mentok' alias pas 75 persen dan ujian tengah semesternya pun susulan -- dia dapat menjelaskannya secara cukup baik dengan menggunakan kata-katanya sendiri.
Intinya, "kualitas primer" itu kualitas yang melekat sebagai sifat hakiki dari sesuatu, sementara "kualitas sekunder" itu kualitas, sifat, dan hal semacamnya yang bersifat eksternal, "tempelan" dari luar, tidak menunjukkan hal, sifat, bagian hakiki dari fenomena yang sedang diketahui.

Berangkat dari pemahaman sederhana tetapi cukup tepat inilah saya kemudian bertanya kepada seorang mahasiswi lainnya di samping mahasiswi yang menjawab itu. Tanya saya, "Nak... kamu kan nanti jadi psikolog. Apakah pembedaan mengenai kualitas primer dan kualitas sekunder seperti itu dapat diaplikasikan dalam profesi psikologi, misalnya dalam relasi antar-manusia?" Menghadapi pertanyaan seperti ini, mahasiswi itu pun terdiam. Karena lama menunggu dan jawaban yang diharapkan tidak keluar juga, saya lalu berusaha memancing dia dengan mengutarakan adagium ini. Tanya saya, "Apakah yang bisa Anda katakana jika membaca atau mendengar orang berkata, 'Jangan menilai orang berdasarkan tampilan luarnya.'"
"Ow.... Ya pak, saya tahu. Itu artinya kita tidak boleh menilai apakah seseorang itu baik atau buruk berdasarkan penampilannya, juga ketika kita belum terlalu mengenal orang itu."
Nah, itu kamu tahu. Coba sekarang dihubungkan dengan distingsi "kualitas primer" dan "kualitas sekunder" dengan profesi psikologi atau dengan relasi antarmanusia.
"Menurut saya, dalam berelasi dengan orang lain, saya harus membangun relasi itu secara lebih mendalam supaya bisa mengenal orang tersebut apa adanya. Demikianlah, dalam relasi atau terapi psikologi, misalnya, saya tidak bisa serta merta mengatakan kepada seseorang bahwa dia mengalami gangguan psikis A atau B jika saya belum mengenal secara cukup tepat dan mendalam mengenai masalah yang sedang dia hadapi."
Sambil mengafirmasi mahasiswi itu, saya bilang padanya, "Lah... itu bisa. Kamu bisa menjawab. Mengapa dari tadi tidak kamu lakukan demikian?"