Lupa Endonesa
Oleh : Sujiwo Tedjo
Gareng terkekeh-kekeh. Ponokawan yang matanya juling dan serbacacat ini mulai hepi. istrinya akhirnya dapat panggilan syuting juga. Dewi Sariwati, namanya, akan main dalam film Lupa Indonesia Raya, bareng kelompok band Kuburan yang akan membawakan hit “Lupa-Lupa Ingat”. Dengan girang dan terpincang-pincang, Gareng mendekati istrinya. “Jadi, pukul berapa nanti syuting?” tanya Gareng. Sariwati bilang pukul 2.00 pagi. Pukul 2.00 pagi? Gareng kaget. Sergahnya, “itu syuting apa mau shalat istikharah?”
Kontan istri Gareng cemberut, “Ya, syuting to, Kang.” Dasar Gareng, ponokawan yang sering ngengkel alias menggemari perdebatan, omongan istrinya pun dia balik. “O, syuting to,” katanya sambil senyum kecut. “Jadi, kamu sudah tidak mau shalat lagi?”
Aduh, menghadapi suaminya yang suka cekcok lidah itu Sariwati berteriak seperti Peggy Melati Sukma, “Pusiiiiiing ….”
Sariwati: “Lho, ndak gitu. Kata Romo Semar, sembahyang itu niatnya bukan buat dipamer-pamerno. Sampean ini bagaimana, to? Kata orang-orang, Gareng itu anak Semar yang paling pinter. Paling suka Monalisa ….”
Gareng: “Analisa …!!! Bukan Monalisa ….”
Sariwati: “Lho, Monalisa itu bukannya yang disilet-silet di Malaysia, to…..?”
Gareng: “Aduh, itu Manohara.”
Sariwati: “Ndak tahu, ah Pokoknya, Sari dengar Kang Gareng itu ponokawan yang paling suka merenung. Beda dengan Bagong yang mbuethik dan bisanya cuma ngotot ndak pakai pikiran. Mosok nek cerdas, Sampean sampai lupa nasihat Romo Semar bahwa sembahyang bukan untuk ditunjuk-tunjukkan ….”
Gareng: “Hmmm begini. Duduk dulu kamu. Hmmm sebenarnya inti nasihat Semar bukan itu. intinya, bagaimana sembahyang itu bisa mendorong seluruh hatimu untuk menolong orang lain. Itulah inti pergi ke masjid, gereja, wihara, kuil, dan sebagainya.” “Wooo sebenarnya negeri ini nggak terlalu bu- tuh campur tangan modal asing untuk membuka lapangan kerja. Apalagi kalau bantuan uang itu pake pamrih ngerukin kekayaan bumi Nuswantoro, termasuk yang paling vital: air. Lho, iya, to? Kalau sebagian besar warga sembahyangnya bener, artinya bergairah bantu-membantu, jutaan penganggur itu akan dapat ojir untuk membuka lapangan kerja sendiri …. Kamu sebagai perempuan, sebagai istriku, ndak perlu keluyuran malam-malam koyok burung hantu ….”
Gareng: “Analisa …!!! Bukan Monalisa ….”
Sariwati: “Lho, Monalisa itu bukannya yang disilet-silet di Malaysia, to…..?”
Gareng: “Aduh, itu Manohara.”
Sariwati: “Ndak tahu, ah Pokoknya, Sari dengar Kang Gareng itu ponokawan yang paling suka merenung. Beda dengan Bagong yang mbuethik dan bisanya cuma ngotot ndak pakai pikiran. Mosok nek cerdas, Sampean sampai lupa nasihat Romo Semar bahwa sembahyang bukan untuk ditunjuk-tunjukkan ….”
Gareng: “Hmmm begini. Duduk dulu kamu. Hmmm sebenarnya inti nasihat Semar bukan itu. intinya, bagaimana sembahyang itu bisa mendorong seluruh hatimu untuk menolong orang lain. Itulah inti pergi ke masjid, gereja, wihara, kuil, dan sebagainya.” “Wooo sebenarnya negeri ini nggak terlalu bu- tuh campur tangan modal asing untuk membuka lapangan kerja. Apalagi kalau bantuan uang itu pake pamrih ngerukin kekayaan bumi Nuswantoro, termasuk yang paling vital: air. Lho, iya, to? Kalau sebagian besar warga sembahyangnya bener, artinya bergairah bantu-membantu, jutaan penganggur itu akan dapat ojir untuk membuka lapangan kerja sendiri …. Kamu sebagai perempuan, sebagai istriku, ndak perlu keluyuran malam-malam koyok burung hantu ….”
Sariwati: “Wadoh, saya ndak keluyuran, kok, Kang. Saya bantu suamiku cari duit. Saya apa tadi …. syuting. Lihat ini, surat panggilannya Scene 74, adegan di Stadion Tambak Boyo, bersama Mbah Marijan selagi hidup ….”
Gareng: “Lho, nggak jadi dengan Mbah Surip …?”
Sariwati: “Oalah, Kang …. Mbah Surip, kan, sudah nggak ada. Sampean iki, lho. Katanya Sampean anak raja jin, Resi Sukskati, di Kerajaan Bluluktibo. Lha, kok, matanya nggak bisa awas bahwa sesungguhnya …..
Gareng: “… Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penja ….”
Sariwati: “Hus! Bahwa sesungguhnya Mbah Surip itu sudah meninggal. Wah, nyesel saya dulu mau dikawin sama Kakang kalau ternyata Sampean nggak beda sama laki-laki biasa. Eh, tahu nggak, dulu saya itu mau dinikahi Kang Gareng juga lantaran opo coba?”
Gareng: “Lantaran saya ngguaaanteng koyok Ariel Peterpan.”
Sariwati: “Berarti saya podo karo Luna Maya, yo?”
Gareng: “Hus! Coba kamu mangap. Haaak haaaak .. Ayo Hmmm. Ndak, kamu bukan Luna Maya. Luna itu nek mangap uayu. Coba, lihat, foto-fotone nduk ndalan-ndalan raya Darmo, Embong Malang, Bubutan, Kali Mas, Rungkut, malah sak Indonesia …. Semua mangap seperti ini lho mulutnya, haaa ….”.
Gareng: “Lho, nggak jadi dengan Mbah Surip …?”
Sariwati: “Oalah, Kang …. Mbah Surip, kan, sudah nggak ada. Sampean iki, lho. Katanya Sampean anak raja jin, Resi Sukskati, di Kerajaan Bluluktibo. Lha, kok, matanya nggak bisa awas bahwa sesungguhnya …..
Gareng: “… Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penja ….”
Sariwati: “Hus! Bahwa sesungguhnya Mbah Surip itu sudah meninggal. Wah, nyesel saya dulu mau dikawin sama Kakang kalau ternyata Sampean nggak beda sama laki-laki biasa. Eh, tahu nggak, dulu saya itu mau dinikahi Kang Gareng juga lantaran opo coba?”
Gareng: “Lantaran saya ngguaaanteng koyok Ariel Peterpan.”
Sariwati: “Berarti saya podo karo Luna Maya, yo?”
Gareng: “Hus! Coba kamu mangap. Haaak haaaak .. Ayo Hmmm. Ndak, kamu bukan Luna Maya. Luna itu nek mangap uayu. Coba, lihat, foto-fotone nduk ndalan-ndalan raya Darmo, Embong Malang, Bubutan, Kali Mas, Rungkut, malah sak Indonesia …. Semua mangap seperti ini lho mulutnya, haaa ….”.
Sariwati: “Emmm yo, wis, yo, wis. Kalau saya bukan Luna Maya ….”
Gareng: “Lho, Dik, Dik, Dik ojo merengut. Jangan mutung. Sini, saya bopong kamu. Ayo Tak gendong ke mana-mana Tak gendong ke mana-mana … Ooo, Diajeng Dewi Sariwati, putri Prabu Sarawesa dari Negara Purwaduksina …. Tak gendong ke man ….”
Sariwati: “Aduh, aduh, wis, wis, sampai mau jatuh, mati saya …. Kasihan tangan Kang Gareng yang sudah cacat. Wis wis. Kalau saya bukan Luna Maya, berarti Kang Gareng memang bukan Ariel Peterpan. Tapi, itu malah yang bikin saya kelimpungan dengan Kang Gareng. “Kata orang, tangan Kang Gareng yang cacat, yang ceko, menunjukkan Kang Gareng tidak mempunyai hasrat untuk mengambil yang bukan haknya ….”
Gareng: “Hehehe ….”
Sariwati: “Kata orang, kaki Kang Gareng pincang, menunjukkan dalam menjalani hidup ini Kang Gareng sangat berhati-hati ….”
Gareng: “Hehehe ….”
Sariwati: “Kata orang, mata Kang Gareng juling menunjukkan pandangan Kang Gareng cukup awas, bisa ke mana-mana. Tunjukkan kenapa, kok, Kang Gareng bilang Mbah Surip masih hidup.”
Gareng: “Jelas. Orang yang kerjaannya menggendong-gendong orang lain, sekarang masih hidup dan makin banyak. Golkar dan PDl-P saja sekarang sudah menunjukkan gejala-gejala merapat dan menggendong Pak SBY.”
Gareng: “Lho, Dik, Dik, Dik ojo merengut. Jangan mutung. Sini, saya bopong kamu. Ayo Tak gendong ke mana-mana Tak gendong ke mana-mana … Ooo, Diajeng Dewi Sariwati, putri Prabu Sarawesa dari Negara Purwaduksina …. Tak gendong ke man ….”
Sariwati: “Aduh, aduh, wis, wis, sampai mau jatuh, mati saya …. Kasihan tangan Kang Gareng yang sudah cacat. Wis wis. Kalau saya bukan Luna Maya, berarti Kang Gareng memang bukan Ariel Peterpan. Tapi, itu malah yang bikin saya kelimpungan dengan Kang Gareng. “Kata orang, tangan Kang Gareng yang cacat, yang ceko, menunjukkan Kang Gareng tidak mempunyai hasrat untuk mengambil yang bukan haknya ….”
Gareng: “Hehehe ….”
Sariwati: “Kata orang, kaki Kang Gareng pincang, menunjukkan dalam menjalani hidup ini Kang Gareng sangat berhati-hati ….”
Gareng: “Hehehe ….”
Sariwati: “Kata orang, mata Kang Gareng juling menunjukkan pandangan Kang Gareng cukup awas, bisa ke mana-mana. Tunjukkan kenapa, kok, Kang Gareng bilang Mbah Surip masih hidup.”
Gareng: “Jelas. Orang yang kerjaannya menggendong-gendong orang lain, sekarang masih hidup dan makin banyak. Golkar dan PDl-P saja sekarang sudah menunjukkan gejala-gejala merapat dan menggendong Pak SBY.”
Bagong: “ltu bukan nggendong, goblok! ltu sebetulnya mau menjerumuskan. ltu kejeliannya Mbah Surip. Dikira dia mendukung seseorang. Belum tentu. Eling hanacara. Orang Jawa juga persis aksara itu. Vokal-vokal aksara Jawa itu kalau dipangku, digendong, dijunjung, malah mati jadi konsonan. Gareng katanya pinter ternyata goblok.”
Gareng: “Eh, kamu malam-malam, kok, ujug-ujug datang…”
Bagong: “Mau mengantar Mbakyu Sariwati ke Tambak Boyo. Syuting film Lupa lndonesia Raya …. Ayo, Mbakyu ….”
Sariwati: “Nggak jadi saja.”
Bagong dan Gareng: “Lho?”
Sariwati: “Percuma Filmnya nanti juga nggak bakal ada yang nonton. Karena, sebagai pemain, saya belum pernah disilet-silet di Malaysia.”
Bagong dan Gareng: “????”[]
Gareng: “Eh, kamu malam-malam, kok, ujug-ujug datang…”
Bagong: “Mau mengantar Mbakyu Sariwati ke Tambak Boyo. Syuting film Lupa lndonesia Raya …. Ayo, Mbakyu ….”
Sariwati: “Nggak jadi saja.”
Bagong dan Gareng: “Lho?”
Sariwati: “Percuma Filmnya nanti juga nggak bakal ada yang nonton. Karena, sebagai pemain, saya belum pernah disilet-silet di Malaysia.”
Bagong dan Gareng: “????”[]
Sujiwo Tedjo
Buku: Lupa Endonesa
Penerbit: Bentang
Buku: Lupa Endonesa
Penerbit: Bentang
0 Komentar