Kiai Azaim: Al Kautsar, Limpahan Nikmat dan Dimensi Kesyukuran
Sukorejo– Selalu ada yang istimewa di setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo. Tak ketinggalan peringatan Maulid Nabi tahun ini . Tak hanya selalu meriah dan kerap kali didatangi tokoh-tokoh penting, tema yang diangkat selalu menarik perhatian umat Islam yang hadir untuk memperingati kelahiran Baginda Nabi Agung Muhammad SAW.
Tema yang diusung pada peringatan Maulid Nabi SAW 1440 H tahun ini adalah “Al Kaustar, Limpahan Nikmat dan Dimensi Kesyukuran”. Tema tersebut lalu di kupas oleh Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy dalam sambutannya, Selasa (20/11/2018). Berikut sambutan lengkap Kiai Muda yang akrab disapa Kiai Azaim di hadapan ribuan umat Islam yang hadir dari berbagai penjuru Nusantara :
بسم الله الرحمن الرحيمPerayaan tahunan yang digelar di halaman kantor pesantren tersebut mendatangkan dua penceramah, ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar dan Habib Muhammad bin Abu Bakar Al Mukhdar dari Pasuruan.
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ.فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ . إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus”. (QS. Al-Kautsar: 1-3)
Para muhibbin yang dirahmati Allah, menurut Sayyid Qutb inti ajaran dari QS. Al-Kautsar ini pada dasarnya berisi perintah agar baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. senantiasa bersyukur atas “al-Kautsar” yang dianugerahkan kepadanya. Fakhruddin ar-Razi mengutip 19 penafsiran kata “al-Kautsar”, berupa telaga di Surga, Alquran, kenabian, umat yang banyak, keturunan yang tidak terputus dan lain-lain. Namun sesungguhnya beragam penafsiran itu bermuara pada satu titik kesimpulan, yaitu limpahan karunia yang sangat banyak.
Sejatinya perintah bersyukur ini bukanlah kalimat perintah yang bersifat “qashirah” melainkan kalimat perintah “muta’addiyah”. Artinya perintah kewajiban bersyukur tersebut tidak hanya dibebankan kepada Rasulullah semata, melainkan juga kepada kita sebagai umatnya. Mengapa sebab? Ini tak lain karena kehadirannya senantiasa menjadi rahmat bagi alam semesta (QS, Al-Anbiyaa’ :107). Kehadiran nabi di tengah-tengah umat manusia bukanlah hanya sekadar sebagai nabi al-Rahmah, sang pembawa rahmat melainkan hakikatnya beliau adalah ‘ainu al-Rahmah, rahmat itu sendiri, sebab di dalam dirinya telah mengalir rahmat Allah dan kemudian rahmat itu beliau sebarkan ke seluruh alam.
Sir George Bernard Shaw, salah satu tokoh dunia terkemuka dari kalangan non-muslim menggungkapkan kekagumannya di dalam bukunya “The genuine Islam”, “Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern saat ini, maka dia akan berhasil mengatasi segala keruwetan dan persoalan yang sedemikian rupa hingga membawa kedamaian dan kebahagian yang dibutuhkan dunia”.
Subhanallah! Beliau adalah tokoh dunia yang paling sukses dalam mengubah wajah dunia hanya dalam rentang waktu yang relatif singkat, yakni sekitar 23 tahun. Sebab beliau bukan hanya pembawa dan penyampai risalah melalui Alquran dan al-Sunnah akan tetapi beliau adalah Alquran itu sendiri. Bahkan seringkali disebut sebagai al-Quran al-Masyi (berjalan). Adapun Alquran yang terdiri dari 30 juz, 113 surat disebut al-Quran al-Maqru’ (al-Quran yang dibaca). Al-Quran al-Maqru’ berfungsi sebagai mauidzah hasanah sementara al-Quran al-Masyi berfungsi sebagai uswah hasanah. Siti Aisyah pernah ditanya, bagaimana akhlak Raslullah SAW, beliau menjawab, “Akhlak beliau adalah al-Qur’an” (HR Imam Ahmad).
Salah satu penyebab ‘kegagalan’ atau kurang efektifnya misi dakwah saat ini disebabkan karena pola dakwah yang dilakukan lebih banyak bertumpu pada mau’idzah hasanah dibanding menitik beratkan pada sisi uswah hasanah.
Lebih dari itu, Beliau juga menjadi “al-Minnah al-Kubra” serta “al-Wasilah al-Udzma” yang telah merubah nasib suatu umat yang dahulunya tidak perberadaban, kere dan hina menjadi khaira ummah, (umat terbaik), membekali mereka dengan kitab suci Alquran dan Sunahnya sehingga menjadi agama yang mudah dan toleran, mengantarkan mereka menjadi Ummatan Wasathan (juru penengah) bagi umat-umat yang lain kelak di hari kiamat, serta khashaish al-Ummah (keistimewaan-keistemawaan) lainnya.
Nah, di dalam surat al-Kaustar di atas Allah SWT memberikan dua konsep sebagai media untuk mengungkapkan rasa syukur, yaitu syukur dalam bentuk ibadah spritual-ritual dan syukur dalam bentuk pengabdian sosial, فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
Syaikh al-Sa’di berpendapat, Allah Swt. mengkhususkan penyebutan dua bentuk ibadah—yakni ibadah salat dan kurban—karena keduanya merupakan ibadah yang paling utama dan taqarub yang paling agung kepada Allah. Sebab salat itu mencakup ketundukan hati dan anggota badan yang direalisasikan ke dalam bentuk peribadatan. Sedangkan penyembelihan hewan kurban merupakan salah satu pendekatan diri kepada Allah dengan sesuatu yang paling utama yang dimiliki seorang hamba. Dengaan berkurban berarti ia telah mengeluarkan harta yang paling dicintai oleh jiwa yang biasanya ia kikir untuk mengeluarkannya.
Syukur Dalam Dimensi spiritual-ritual
Sebagaimana penjelasan di atas terdapat banyak anugerah yang diberikan Allah kepada kekasihnya, junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw. Beliau menyambut anugerah-anugerah tersebut dengan bentuk kesyukuran kepada Allah berupa pengabdian dan penghambaan.
Diriwayatkan, pada suatu ketika Rasulullah ditanya oleh para sahabat perihal kenapa beliau begitu bersemangat menunaikan ibadah salat sunnah hingga bengkak kakinya. Padahal, dosa-dosanya sudah diampuni, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang. Nabi menjawab, “Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”. (HR. Muslim)
Begitu pula pada saat nabi ditanya oleh para sahabat perihal puasa sunahnya pada hari senin. Beliau menjawab, “Karena pada hari itu aku dilahirkan dan Alquran diturunkan kepadaku”. (HR. Muslim)
Dua kisah di atas hanyalah secuil dari sekian banyak riwayat yang menceritakan totalitas pengabdian nabi kepada Rabbnya, terutama dalam ibadah mahdah. Bagi pribadi beliau perbuatan sunah adalah suatu kewajiban. Semisal salat tahajjud, witir yang tak pernah ditinggalkannya. Sementara yang makruh pun, baginya menjadi haram untuk dilakukan.
Syukur dalam dimensi sosial
Syukur nabi dalam dimensi sosial terekam jelas dan gamblang dalam jejak sejarah perjuangan beliau. Sejak awal, dakwahnya selalu mendapat rintangan dan tantangan. Intimidasi dan siksaan beliau terima. Mulai cacian, hujatan, dilemparan kotoran dan batu hingga berlumuran darah. Bahkan beliau dan pengikutnya mengalami penderitaan yang sangat luar biasa akibat pemboikotan kaum Quraish di Syi’ib Abu Thalib baik secara ekonomi maupun sosial.
Namun Rasulullah SAW menghadapi semua cobaan dan rintangan dengan sabar dan lapang dada. Semua itu beliau lakukan hanya semata-mata ingin menyelamatkan umat manusia dari perpecahan, dari jurang kesesatan dan pedihnya siksa api neraka. Firman Allah:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa wujud syukur nabi dalam bentuk sosial yakni menolong yang lemah tak ada yang bisa membantah. Semangat nabi terus berdakwah menanamkan akidah untuk menyelamatkan umat manusia walau sering difitnah adalah wujud syukur kepada Allah atas segala karunia yang diberikan. Sementara janji Allah siapa yang bersyukur maka akan ditambah.
Dalam ayat lain digambarkan bahwa syukur sebagai tolok ukur, apakah kita akan menjadi hamba yang penyukur ataukah kufur. Firman Allah:
Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.QS. Al-Naml:40
Pondok Pesantren sebagai karunia
Salah satu karunia terbesar bagi bangsa Indonesia adalah adanya pondok pesantren yang didirikan ulama sebagai pewaris para nabi. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia telah menorehkan sejarah yang luar biasa bagi Indonesia baik dalam kemajuan pendidikan, sosial dan kemasyarakatan. Salah satu diantaranya adalah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo yang telah berusia lebih dari satu abad.
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu ceritakanlah” (Qs. Al-Dhuha: 11). Sungguh amat banyak anugerah yang diberikan Allah kepada pondok Pesantren yang didirikan oleh KHR. Syamsul Arifin ini. salah satunya berkesempatan menjadi bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan. Sejak masa penjajahan, para Kiai dan santri di pesantren ini juga ikut memanggul senjata. Tidak hanya itu, setelah Indonesia merdeka, tepatnya ketika terjadi pro-kontra soal Pancasila, Kiai As’ad Syamsul Arifin sebagai Pengasuh melalui Munas Alim Ulama tahun 1983 dan Muktamar Nu ke-27 tahun 1984 bersama sejumlah ulama berhasil merumuskan hubungan antara agama dan Pancasila. Muktamar ke-27 ini merupakan Muktamar paling bersejarah karena telah melahirkan keputusan yang tidak hanya melamatkan NU tetapi juga keutuhan NKRI dengan diterimanya Asas Tunggal Pancasila.
Maka sangatlah wajar, pada tahun 2016 KHR. As’ad Syamsul Arifin dianugerahi gelar pahlawan nasional. Ini semua sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Tidak hanya itu, pada tahun ini Pesantren Sukorejo mendapat anugerah tingkat nasional sebagai pesantren takhassus inspiratif bidang fikih.
Belum lagi anugerah Rekor Muri Penulisan Kaligrafi terbesar Asas Tuggal Pancasila oleh Museum Rekor Indonesia dan dunia. Kebahagian keluarga besar Pondok pesantren semakin lengkap dengan sederet prestasi yang berhasil diraih para santri di berbagi ajang kompetisi, seperti Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasinoal, MTQ dan lomba baca Kitab Kuning. Falhamdulillah ‘ala kulli hal
Karunia-karunia besar ini sudah seharusnya disyukuri dengan lisan dan tindakan. Syukur sebagaimana spirit dalam surat al-Kautsar adalah dengan meningkatkan spiritual dan tindakan nyata berupa pengabdian kepada umat dan masyarakat. Dan penting juga bagaimana mempertahankan prestasi dan nilai lama yang baik serta meraih prestasi dan nilai baru yang lebih baik.
Semoga seluruh elemen dan keluarga besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo diberikan pertolongan serta Akhlaqul karimah dengan segala demensi pemaknaannya dalam berkhidmah mencetak generasi penerus perjuangan Rasulullah Saw. Amin![]
Sumber : https://serambimata.com/2018/11/20/kiai-azaim-al-kautsar-limpahan-nikmat-dan-dimensi-kesyukuran/
0 Komentar