WARNING DARI KIAI AZAIM: “Mondhuk entar Ngabdhi ben Ngajhi”
Dia amat sangat krusial sehingga mendapat perhatian lebih dalam khazanah ajaran Islam. Dia ada di bagian awal dari setiap derap aktivitas kita. Dialah yang mampu memengaruhi naikturunnya semangat kita dalam beraktivitas. Dia juga yang dijadikan tolok ukur kualitas tindakan yang kita lakukan. Dia adalah niat.
Hadis tersohor اِنَّمَا الْاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ merupakan pijakan utama yang menabalkan bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niat pelakunya. Akan halnya para santri sebagai pelaku jihad keilmuan di pondok pesantren. Niat mengambil tempat yang utama dan pertama di dalam lubuk hati para santri. Yakni, niatan menimba ilmu atas dasar kesadaran murni dan komitmen tinggi demi Allah SWT semata.
Demikian halnya yang acap ditegaskan oleh Pengasuh IV Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo (P2S3), Almukarram KHR Ach. Azaim Ibrahimy, kepada seluruh santri, baik yang berstatus santri lama (Salam) maupun santri baru (Sabar). Kiai Azaim, panggilan akrab beliau, memberi warning (peringatan; bahasa Inggris) agar santri senantiasa mematri semangat mengaji dan mengabdi dalam niatnya menuntut ilmu di pondok pesantren tercinta ini. Atau yang lebih familiar dengan slogan berbahasa Madura: “Mondhuk entar Ngabdhi ben Ngajhi ”.
Senada dengan uraian pembuka di atas, GAMIS edisi kali ini bakal mengurai lebih dalam mengenai makna filosofis dari slogan yang banyak dipampang di beberapa sudut pesantren P2S3 itu.
Pengertian “Ngaji” dan “Ngabdi”
Semboyan ngaji dan ngabdi sejatinya bersumber dari perkataan Mahaguru Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, yang berbunyi
اَلطَّالِبُ عِنْدِيْ مَنْ تَعَلَّمَ وَ يَخْدَمُ وَ مَنْ خَلَصَ فِيْ خِدْمَتِهِ يَفْتَحُ اللّهُ عَلَيْهِ
“Menurutku, yang dikatakan santri adalah seseorang yang belajar
sekaligus berkhidmah. Barangsiapa yang tulus dalam berkhidmah, maka
Allah akan membukakan pintu kebaikan baginya.”Manakala dikaji secara etimologis (kebahasaan), ngaji berasal dari kata mengaji yang berarti belajar. Sementara mengaji ilmu Agama atau pun belajar ilmu umum, memang telah menjadi menu wajib keseharian santri selama berada di pesantren.
Sedangkan kata ngabdi disarikan dari mufradat Bahasa Arab, khidmah, yang bermakna: “memberikan pelayanan khusus kepada satu orang atau lebih, maupun terhadap sebuah tempat. Semisal, berkhidmah kepada kiai atau berkhidmah di masjid”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengabdian tak hanya menjurus kepada manusia saja, melainkan juga dapat ditunaikan terhadap bendabenda tak bernyawa, seperti masjid, sekolah, dan lain-lain.
Selempar batu dengan kehidupan kaum sarungan (baca: santri) di penjara suci, laku khidmah mereka dapat dijabarkan menjadi tiga macam, yaitu:
- Pengabdian pada Ilmu Sebagai suatu destinasi (tujuan), ilmu tidak akan bisa diperoleh oleh para pencarinya, kecuali dengan kerelaan mereka menjadi budaknya ilmu dan mengabdi terhadapnya. Imam Syafi’i berkata:
اَلْعِلْمُ حُرٌّ وَ طَالِبُهُ عَبْدٌ
“Ilmu itu sang tuan dan pencari ilmu adalah abdinya.”Ada banyak cara mengabdikan diri pada ilmu, di antaranya dengan cara mempelajarinya, meninggalkan kenyang (menyedikitkan makan), bangun malam (qiyamullail), dan lain sebagainya.
- Pengabdian kepada Guru Pengabdian kepada guru termasuk wujud dari rasa takzim terhadap mereka. Dalam rentang sejarah Islam, pengabdian semacam ini telah dipraktekkan secara turun-temurun. Mulai dari masa para sahabat sampai dengan ulama zaman sekarang. Sebut saja salah satu contohnya, seorang sahabat bernama Anas bin Malik ra. Selama sepuluh tahun, beliau mengabdikan diri kepada Rasulullah SAW. Dan selama itu pula, beliau telah berhasil meriwayatkan sebanyak 1.286 hadis.
- Pengabdian terhadap Pesantren Sebagaimana mengabdi di masjid, mengabdi terhadap pesantren dapat dilakukan dengan cara merawat dan memelihara kebersihannya, serta menjaga aneka fasilitasnya.
Ngaji (mengaji) merupakan bentuk usaha seorang murid untuk menguasai ilmu yang sedang dia pelajari. Sesungguhnya ketika kita mengaji (ngaji) ilmu kepada seorang guru, kita telah terhitung mengabdi (ngabdi) kepada ilmu serta guru tersebut. Yakni, dengan menjaga senarai tata krama dalam proses mengaji. Termasuk, keharusan kita mengindahkan dawuh (wejangan; bahasa Madura) serta perintah sang guru tersebut.
Sementara itu, pengabdian adalah pengikat hubungan kerohanian (‘alaqah ruhaniyah) antara murid dan gurunya, murid dan pesantrennya, serta pertalian murid dengan ilmu yang dipelajarinya. Tanpa adanya pengabdian, seorang santri akan kesulitan mendapatkan ilmu yang barokah, sebab ketiadaan ikatan rohani dengan guru, pesantren, dan ilmunya.
Karena itu, menjadi suatu keharusan bagi setiap santri yang mengidamkan keberkahan ilmu, untuk mampu menyeimbangkan antara semangatnya dalam mengaji dan ketulusannya dalam mengabdi. Sebab, hal ini menjadi cerminan kehidupan para santri di kala bermasyarakat nanti. Seorang santri yang memedulikan semangat keilmuan, tapi mengabaikan nilai-nilai pengabdian. Manakala kelak dia berinteraksi dengan masyarakat, segala penyakit hati akan mudah bersarang di hatinya. Semisal perasaan jemawa (angkuh) dengan keilmuan yang dimilikinya, dan lain sebagainya. Namun sebaliknya, sosok santri yang terbiasa menyelaraskan semangat belajarnya dengan ketulusannya berkhidmah. Praktis, dia akan mendedikasikan dirinya demi kemaslahatan masyarakat dengan penuh ketulusan. Tanpa tedeng aling-aling apapun.
Pemahaman tentang relasi antara ngaji dan ngabdi ini penting dipahami oleh segenap santri sehingga keselarasan dua hal ini senantiasa tertanam di hati dan terlihat dalam aksi keseharian mereka. Kalau berilmu saja tanpa berkhidmah, maka ilmu yang dimiliki tak bakal bermanfaat. Sedangkan tatkala hanya tekun berkhidmah dan abai mengaji, akan dapat mengalutkan kehidupan.
The last but not the least. Keduanya, ngaji dan ngabdi, harus santri lakoni dengan didasari niat mencari rida Allah SWT. Bukan malah dilatari oleh motivasi duniawi. Karena pada hakikatnya, tujuan penciptaan manusia adalah semata-mata untuk berbakti dan beribadah kepada Allah SWT.
Akhirnya, semoga kita bisa mampu menahabiskan diri kita sebagai santri-santri yang “Mondhuk entar Ngabdhi ben Ngajhi ”. Bersemangat dalam mengaji sekaligus mengikhlaskan hati untuk mengabdi. Layaknya ketulusan Sayidina Ali Krh. dalam ungkapan tenar beliau, “Aku menyerahkan diriku (mengabdi) sepenuhnya kepada seseorang yang telah mengajariku, meskipun hanya satu huruf. Terserah orang itu ingin memerdekakanku atau menjadikan diriku sebagai budak ”. Wallaahu a’lam bish-shawab. (redaksi.pa/mah/asy/irs/arf)
Sumber : http://mahadaly-situbondo.ac.id/warning-kiai-azaim-mondhuk-entar-ngabdhi-ben-ngajhi/
0 Komentar