Menghormati Manusia dan Kerja-Kerjanya

Kerja, kerja, kerja. Setelah memerintah selama lima tahun, Joko Widodo rupanya sadar, mantra ’’kerja, kerja, kerja’’ saja tak cukup.
Butuh manusia yang melakukannya, yang bekerja. Bahkan juga butuh manusia untuk menikmati hasil kerja-kerja tersebut.
Tentu saja kalau sekadar manusia, kita punya banyak. Ada seperempat miliar lebih manusia yang tinggal di negeri ini.
Bikin infrastruktur di mana-mana, butuh manusia untuk membangunnya. Ingin pariwisata maju, ya butuh manusia yang terampil pula di bidangnya. Ingin perekonomian digital mengatasi kesenjangan sekaligus menciptakan pertumbuhan, tetap saja butuh jago-jago coding dan teknologi informasi.
Sekarang bayangkan, setelah terbentang jalan di mana-mana, siapa yang akan mempergunakannya? Ya, manusia. Bagaimana jika ia tak punya kendaraan? Ya, beli mobil atau motor. Kalau tak punya uang? Ya, harus bekerja dan berpenghasilan. Kalau tak punya keterampilan? Ya dilatih, dibikin pintar di sekolah.
Kalau sekolah tak bikin manusianya terampil ataupun pintar? Ya, akhirnya kosonglah bentangan jalan-jalan tersebut. Infrastruktur jalan pada akhirnya bukan untuk kura-kura lewat. Bukan pula sekadar objek foto-foto cantik.
Sekarang kita punya jaringan tulang punggung internet yang membentang menaungi seluruh wilayah negeri. Siapa yang bisa memanfaatkannya? Tentu saja manusia.
Problemnya, untuk memanfaatkan infrastruktur seperti internet, kita tak sesederhana bisa memberikan seperangkat komputer kepada seseorang. Dibutuhkan prasyarat, baik ekonomi maupun budaya.
Dan, di situlah memang jebakannya. Teknologi, sejak awal mula ditemukannya, serta hasil-hasilnya, selalu memiliki dua sisi yang berseberangan untuk manusia.
Pertama, teknologi mampu membantu pekerjaan-pekerjaan manusia. Kedua, sialnya, teknologi juga mampu merebut pekerjaan-pekerjaan tersebut juga dari manusia.
Manusia harus dipersiapkan tak hanya untuk menciptakan teknologi, demi membantu kerja-kerjanya. Manusia juga harus dipersiapkan untuk menghadapi segala macam dampak teknologi agar sebisa mungkin tidak merugikan kehidupannya.
Setelah pembangunan, sebagian besar bersifat fisik, sangat masif selama lima tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya manusia mungkin terdengar sangat terlambat. Tapi, seperti orang bijak bilang, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Pertanyaannya, pembangunan manusia macam apa yang dibayangkan oleh pemerintahan Joko Widodo?
Ketika naik ke pucuk kepemimpinan nasional tahun 2014, ia diantar oleh harapan yang membuncah. Rakyat bahkan turun ke jalan dalam suasana karnaval di hari pelantikannya.
Di tahun ini, ketika ia akan melanjutkan kepemimpinannya lima tahun ke depan, pelantikannya diwarnai oleh penjagaan ketat tentara dan polisi. Ia tidak diantar oleh euforia penuh harapan, malahan diselimuti awan kelabu kerisauan.
Dan, menurut saya, itu ada hubungannya dengan kegagalan pemerintahannya mengurusi manusia. Jika ia gagal melakukannya di lima tahun pertama, bagaimana ia bisa memberikan optimisme di lima tahun kedua?
Kenapa saya bilang gagal?
Pertama-tama, bicara tentang manusia tak bisa dilepaskan dari hal paling fundamental tentang manusia: hak-hak asasinya. Lima tahun terakhir, hak asasi manusia merupakan salah satu bidang dalam pemerintahannya yang bernilai buruk, merah, jika kita harus memberikan rapor kepadanya. Bahkan bisa dibilang sebagai bidang yang paling terabaikan.
Memang tak semata-mata kesalahan pemerintahan Joko Widodo seorang. Beberapa kasus hak asasi manusia merupakan warisan lama, yang membentang bahkan ke pemerintahan presiden-presiden sebelumnya. Tapi, Joko Widodo sendiri pernah menjanjikan penyelesaian beberapa kasus, dan sampai akhir periode pertama, kasus-kasus itu tak juga tersentuh.
Ngomong-ngomong, sebetulnya apa hubungan antara penyelesaian kasus hak asasi manusia dan kehendak pemerintah untuk meningkatkan pembangunan sumber daya manusia? Tentu saja ada, dan untuk saya, itu sangat mendasar.
Coba kita kembali bayangkan: untuk apa membangun bandara superluas jika harus mencerabut petani dari sawahnya? Merebut manusia dari pekerjaannya? Tanpa pekerjaan, ia tak berpenghasilan. Tanpa penghasilan, ia tak mampu beli tiket pesawat, dan tanpa penumpang, bandara tak ada gunanya?
Bayangkan pula, pembangunan besar-besaran mungkin menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Keluarga sejahtera, anak-anak bisa sekolah. Pada saat yang sama, ketika mereka merasa perlu bersyukur atas nikmat dunia tersebut, mereka dihadapkan pada kenyataan: tempat ibadah tak tersedia. Tempat ibadahnya digusur karena ditolak oleh tetangga-tetangganya.
Sangat mustahil membayangkan penguatan sumber daya manusia jika hak-hak dasar mereka dicerabut. Petani takut tanahnya dirampas. Seniman takut sensor. Intelektual takut dirundung ormas. Menulis disertasi takut menyinggung umat beragama. Dan, kita tahu, itu semua terjadi dalam lima tahun pemerintahan Joko Widodo.
Jika Joko Widodo berharap meningkatkan sumber daya manusia, Ia harus menyelesaikan utang-utangnya terhadap berbagai kasus hak asasi manusia. Utang masa lalu maupun utang dari pemerintahannya, tanpa pilih-pilih.
Ia harus mulai menghormati manusia Indonesia dan kerja-kerjanya. Petani dari tanahnya, nelayan dari lautnya. Intelektual dari buku-bukunya. Buruh dari alat-alat produksinya. Ia harus membebaskan manusia Indonesia dari rasa takut ketika mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menghidupinya.
Diterbitkan pertama kali di Jawa Pos, 26 Oktober 2019.