Garut - Bagi anda yang pernah mondok di pesantren daerah
Garut dan daerah lain di
Priangan Timur, Jawa Barat, tradisi pasaran atau konsep mengaji dengan cepat
dengan waktu singkat, adalah kejutan.
Cara
mengkaji kitab kuning dengan cepat yang langsung diturunkan sang kiai melalui
ijazah, dianggap cara tepat untuk melengkapi ilmu agama, yang belum diperoleh
santri selama di pesantren.
Namun
seiring semakin majunya budaya pendidikan modern, terutama kurikulum pendidikan
umum ke pesntren, tradisi ‘pasaran’ atau pesantren kilat, perlahan memudar
bahkan cenderung ditinggalkan.
Pengasuh
Pondok Pesantren Suci II Garut Abdurahman Qudsi mengatakan, tradisi mengaji
dengan konsep zuroh, halaqoh atau pasaran, sudah berlangsung di kalangan
pesantren terutama kultur Nadhlatul Ulama (NU) sejak lama.
"Bagi
pesantren di Jawa Timur, tradisi ijazah masih berlangsung hingga kini,"
ujarnya, dalam obrolan hangat dengan Liputan6.com, Kamis (26/12/2019).
Dalam
prakteknya, pelaksanaan pasaran disesuaikan tradisi tiap pesantren,
atau kesanggupan kiai yang mau mengajarkan ilmunya. "Ada yang Maulud,
Rajab bahkan khusus Ramadan," kata dia.
Abdurahman
menyatakan, pelaksanaan pengajian ‘pasaran’ salah satu kitab, dimaksudkan
mempertahankan tradisi menjaga sanad kitab, atau asal muasal dari proses
pengarang kitab tersebut berlangsung.
"Istilahnya
ngalap berkah dari ilmu yang ada dalam kita tersebut," kata dia.
Ia
mencontohkan Pesantren Suci Garut selalu menggelar pasaran kitab - kitab khusus
hadist, atau pesantren qiroah yang khusus mengajarkan ilmu mengenai al-quran.
"Untuk
ilmu gramatikal ada khusus Pesantren Sadang yang mengajarkan alfiyah,
tergantung spesifikasi pesantrennya di bidang apa," kata dia.
Dalam
prateknya, seluruh peserta pasaran, bakal menyelesaikan proses mengaji salah
satu kitab, dalam hitungan cukup singkat hitungan dua tiga hari saja.
"Pasaran
itu bukan hanya mengajarkan kepintaran semata, namun ada nilai keberkahan
ilmu," dia mengingatkan.
Namun
seiring masuknya kurikulum pendidikan modern ke lingkup
pesantren, tradisi pasaran pun mulai ditinggalkan. "Kalau
faktor utama (penyebab kemunduran) di tiap pesantren kan beda-beda," kata
dia.
KH Cecep
Jaya Karama, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Cisurupan menyatakan,
salah satu faktor penyebab redupnya budaya pasaran di pesantren, karena
pengaruh internet.
"Semua
orang saat ini sudah sangat bergantung dengan hal yang bersifat digital dan
online," ujarnya.
Dengan
kondisi itu, masyarakat lebih memilih cara praktis mencari ilmu di dunia maya,
daripada bertatap langsung dengan para kiai di pesantren.
"Hampir
dalam segala hal, sehingga bagi sebagian orang dianggap tidak penting lagi
mondok atau mesantren, apalagi pesantren kilat (pasaran)," kata dia.
Saat ini
sudah sangat banyak aplikasi android atau sejenisnya, yang sudah menyajikan
materi ragam persoalan masalah keagamaan bagi masyarakat, dengan mudah dan
murah.
"Karena
kitab kitab digitalisasi dan diterjemahkan, sehingga sangat memudahkan siapapun
untuk membaca dan mempelajarinya," ujarnya.
Ia pun
menilai, budaya ngalap berkah atau keberkahan sebuah ilmu, sudah mulai
ditinggalkan masyarakat modern saat ini.
"Prinsipnya,
kalo bisa gampang, kenapa harus sulit sulit ?, Jadi bagi mereka (yang tidak mau
mondok di pesantren) barokah itu cuma hal yang fiktif," papar dia.
Ratusan
santri Pesantren Nurul Huda, Cisurupan Garut, Jawa Barat, tengah mendengarkan
materi ilmu agama yang diberikan pimpinan pesantren kepada mereka
(Liputan6.com/Jayadi Supriadin)
Wakil
Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum menyatakan, tradisi pasaran kitab kuning
merupakan tradisi lama pesantren sebagai warisan budaya bangsa.
"Membaca
kitab gundul (Kitab kuning) belum tentu bisa semua secara alami, harus ada
proses yang dijalani,” kata dia.
Menurutnya,
cara mengkaji kitab kuning dengan aksen gundul, tanpa penanda baris pada
kalimat atau hurup arab, mesti memiliki kemampaun gramatikal bahasa yang baik,
sehingga mampu memahami dengan baik.
"Ini
nalar kitab Alfiyah yang seribu hari beres lebih sulit, dibanding jadi wakil
gubernur," ujar dia sedikit bercanda.
Namun
meskipun demikian, lembaganya memberikan apreasi kalangan kiai atau pengasuh
santri pesantren di Jawa Barat, yang masih konsisten menggelar tradisi Pasaran.
"(Harus)
kiai yang bener bener khas, yang tidak terganggu, khusus di pesantren,"
ujarnya.
Abdurahman
menyatakan, berdasarkan catatan yang dikeluarkan yayasan halaqoh Syeh Sulaeman
Hamdan al Hambali di Arab Saudi. KH Muhammad Qudsi, tercatat sebagai
satu-satunya kiai asal Indonesia yang masih ada.
"Hampir
seluruh ulama yang menerima ijazah Kutubusittah (Ahli hadist, enam ahli hadis
termashur) tahun 1976 di Mekah sudah wafat, tinggal beliau," kata dia.
Tak ayal,
saat pelaksanaan pasaran kitab hadist Shoheh Muslim beberapa waktu lalu,
terdapat beberapa peserta dari luar negeri.
"Ada
yang dari Malaysia, Lebanon, kuwait, arab saudi, mereka meminta ijazah langsung
melalui telepon," kata dia.
0 Komentar