Oleh : Firman MH.
Menjelang usia satu abad organisasi NU melalui lembaga
pendidikannya berupa pondok pesantren masih terus eksis berperan membangun
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui forum-forum kajian,
halaqah dan diskusi ala pesantren-an, seperti Bahtsul Masail yang belum
lama dilaksanakan pada MUNAS dan MUBES NU di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar
kota Banjar pada 27 Februari hingga 1 Maret 2019, banyak sekali menghasilkan keputusan-keputusan
yang mungkin bisa membantu para pemangku kebijakan dan pengelola pemerintahan
dalam mengurai permasalahan bangsa ini. Forum Bahtsul Masail biasanya dihadiri
oleh para Kyai-Kyai dan cendekiawan yang memiliki keahlian dalam keilmuan Islam.
Di forum bergengsi tersebut berbagai macam persoalan
keagamaan dan kebangsaan yang belum ada hukumnya, belum pernah dibahas oleh
ulama dahulu akan didiskusikan secara mendalam dalam forum ini. Menurut Idris
Mas’udi, seorang pegiat Bahstul Masail jebolan pesantren Lirboyo dan
Darussunnnah: “Pada gilirannya forum ini menjadi wadah utama untuk merawat
tradisi intelektual di tubuh NU dalam merespons dan menjawab berbagai persoalan
yang membutuhkan jawaban hukum.”
Sedangkan rujukan utama
dalam menjawab hukum-hukum di forum tersebut selain al Qur’an dan Hadits adalah
pendapat ( qaul ) para ulama yang banyak bertebaran dalam
lembaran Kitab Kuning.
Jadi, bisa dipastikan para peserta Bahtsul Masail
adalah seseorang yang memiliki penguasaan Kitab Kuning. Sebab, penguasaan Kitab
Kuning atau (Kutub al Turats) merupakan syarat utama yang harus
dimiliki oleh intelektual-intelektual NU.
Di lingkungan NU, penguasaan terhadap Kitab
Kuning diajarkan sangat ketat dan disiplin di lembaga pendidikan yaitu
pesantren. Kurikulum pesantren yang berbasis Kitab Kuning dari berbagai
disiplin keilmuan menjadi ciri khas tersendiri, baik ditingkat pemula (ibtida),
pertengahan (wustha) dan tinggi (‘ulya). Para santri dituntut
harus menguasai dalam bidang Fiqh misalnya; Mabadi al Fiqhiah, Safinah al
Najah, Riyad al Badi’ah, Fath al Qarib, Fath al Mu’in dan Jam’u al
Jawami’. Dalam bidang Nahwu; Matn al Ajurumiah, al ‘Imrithi, Mutammimah
Kawakib al Duriah, dan Alfiah Ibnu Malik. Dalam bidang Akidah; Aqidah al
‘Awam, Kifayah al ‘Awam, Fath al Majid, Umm al Barahin, dan Syarah Umm
al Barahin karya Al Dasuki. Begitu pula bidang lainya yaitu Tafsir, Hadits,
‘Ulum al Qur’an, Mushtalah al Hadits, Balaghah, Mantiq, dan Qira’ah.
Pesantren sudah cukup lama mengajarkan dan
mengembangkan kajian keilmuan-keilmuan tersebut, namun ada beberapa bidang
keilmuan yang belum banyak atau tidak tersentuh sama sekali oleh pesantren
yaitu bidang ilmu-ilmu eksakta dan humaniora. Padahal Kitab Kuning yang ditulis
oleh ulama terdahulu banyak juga yang mengkaji keilmuan tersebut.
Integrasi Keilmuan Pesantren
Fathi Hasan Malkawi
dalam buku Manhajiyah al Takamu al Ma’rifi menyebutkan istilah
Integrasi keilmuan ( al Takamul al Ma’rifi ) biasanya disematkan kepada
seorang ensiklopedis yang memiliki kemampuan dan kepakaran terhadap berbagai
disiplin keilmuan. Hal ini tidak sedikit kita menjumpai dari para ulama
pesantren yang memiliki kemampuan dan kepakaran tidak hanya dalam satu bidang
ilmu tertentu saja seperti bahasa atau sastra, namun pakar juga dibidang fiqh,
ulum al Qur’an, ulum al hadits, sejarah, astronomi, hingga ilmu
kedokteran dan matematika. Pada waktu itu, ilmu kedokteran selalu bergandengan
dengan ilmu teologi. Para dokter sering merangkap dengan ahli metafisik dan
filsafat. Ibnu Sina misalnya, dikenal pakar Filsafat juga kedokteran, Ibnu
Rusyd terkenal ahli fiqh, teologi, filsafat dan kedokteran, dan Ibnu Taimiyah
banyak menulis fiqh, teologi, hadits, tasawuf dan logika. Imam Thabari tidak
hanya dikenal sebagai pakar tafsir, namun dikenal juga pakar fiqh, sejarah dan
sastrawan. Ibnu Khaldun tidak hanya seorang petualang politik, namun beliau
dikenal sebagai sejarawan, hakim mazhab Maliki di Mesir dan sebagai peletak
dasar ilmu sosiologi, ekonomi, serta pendidikan.
Sejak dipercaya oleh guru saya, Prof. Dr. KH.
Said Aqil Siroj menjadi kepala pesantren dan madrasah Aliyah al Tsaqafah pada
tahun 2013, yaitu tahun pertama pesantren berdiri dan diresmikan hingga
sekarang, Saya selalu memberikan pemahaman kepada para santri tentang
pentingnya integrasi ilmu-ilmu pengetahuan, bahwa disana tidak ada dikotomi
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Semua cabang keilmuan sama
pentingnya untuk dipelajari oleh para Santri. Adapun yang membedakan adalah
klasifikasi pembagian dan peng-kelompok-an, baik sekala prioritas atau hukum mempelajari
seperti diungkapkan oleh Imam al Ghazali dengan istilah “Ihya ‘Ulumuddin”.
Beliau mengkelompokan
ilmu dari sisi hukum, yaitu Fardlu ‘Ain dan Fardlu Kifayah.
Fardlu ‘Ain sudah jelas, sedangkan Fardlu Kifayah beliau membagi
lagi, ada yang Syar’i dan bukan Syar’i. Kelompok Syar’i
terbagi lagi, ada yang terpuji (mahmud), tercela (mazdmum), dan
mubah.
Jika kita mengamati pemikiran Imam Syafi’i, kita
akan mendapati beliau adalah seorang penganjur integrasi keilmuan. Beliau
mengistilahkannya dengan “ Jima’ al ‘Ilm” atau Qiyas. Beliau
mengkelompokan ilmu menjadi ; ’Ilm al Dien dan ‘Ilm al Dunya, ‘Ilm
al Dien terbagi ; ‘Ammah ( Fardlu ‘Ain ) dan Khashshah ( fardlu
Kifayah ). Begitu pula Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah yaitu bagian
pertama dari kitab beliau berjudul al ‘Ibr wa Diwan al Mubtada wa al Khabar
fi Tarikh al ‘Arab wa al ‘Azam wa al Barbar, beliau mengistilahkannya
dengan ‘Ilm al Shanai’, terbagi dalam kelompok ; Thabi’i, yaitu
ilmu hasil pemikiran manusia itu sendiri seperti hikmah atau filsafat dan Naqli,
yaitu ilmu yang hanya diperoleh dari ( khabar ) informasi dari Tuhan dan
disini tidak ada peran akal sama sekali kecuali hanya mengqiyaskan saja. Dengan
demikian, apa yang sudah disebutkan oleh Imam Syafi’i, al Ghazali dan Ibnu
Khaldun bahwa ilmu-ilmu pengetahuan seluruhnya terintegrasi, dan tidak ada
dikotomi diantara cabang satu keilmuan dengan lainnya.
Urgensitas pembelajaran ilmu eksakta, sains
dan humaniora di pesantren
Sebenarnya ada beberapa
bidang keilmuan eksakta yang diajarkan di pesantren seperti Falak dan Faraid
(disiplin ilmu penghitungan waris dalam fikih), namun itu sangat minim pengajarannya,
kebanyakan pesantren mengajarkannya hanya sebagai mapel tambahan, bukan
termasuk pembelajaran pokok dalam KBM seperti halnya Nahwu dan Fiqh.
Begitu pula bidang humaniora, pengajaran sejarah
misalnya mungkin masih sebatas Sirah Nabawiyah seperti Khulashah
Nurul Yaqin karya Umar Abdul jabar. Oleh karena itu, mestinya pesantren
melalui Kitab Kuning harus mengajarkan dan mengembangkan bidang keilmuan
tersebut. Saya meyakini bidang eksakta dan humaniora sama seperti Nahwu dan
Fiqh atau lainnya, yaitu memiliki tahapan-tahapan kajian mulai dari level dasar
sampai tingkat tinggi sehingga bisa diajarkan kepada para santri sesuai dengan
tingkatan pembelajaran.
Salah satu contoh kitab kuning di bidang
matematika yang sangat populer, selain kitab al Mukhtashar fi ‘Ilm al Jabar
wa al Muqabalah karya Abu Musa al Khawarizmi, ada karya Ibnu Yasamin
seorang ulama pakar matematika hidup sekitar abad 12 di kota fes Maroko
berjudul al Urjuzah al Yasaminiyah fi al Jabr wa al Muqabalah atau Poem
on Algebra and Restoration berbentuk syair ber-bahr rajaz seperti nazdam
Alfiyah Ibn Malik dalam bidang gramatika bahasa Arab. Beliau memberikan
rumusan tentang aljabar yang ia pahami pada masanya.
Menurutnya, aljabar
terkait dengan angka, akar, dan rangkaian angka. Beliau memuat juga tentang
persamaan yang dibuat al Khawarizmi berserta cara untuk memecahkan persamaan
tersebut. Disisi lain, Ibnu Yasamin memberikan penjelasan tentang perbandingan,
perkalian dan pembagian. Ada juga kitab ulama akhir abad 19 berjudul Risalah
fi ‘Ilm al Jabar wa al Muqabalah ditulis oleh Syekh Ahmad zaini
Dahlan.
Karya lain, yaitu bidang kedokteran yang ditulis
oleh Ibnu Thufail berjudul Urjuzah fi al Thib. Puisi berbahar rajaz
itu terdiri dari tujuh ribu tujuh ratus bait. Setelah muqaddimah, Ibnu Thufail
mengawali pembahasan pertama tentang jenis-jenis penyakit di bagian kepala,
seperti sakit kepala, mencegah rambut beruban sebelum waktunya, kurap di
kepala, kotoran telinga, termasuk juga penyakit malaria dan jenis penyakit
lainnya termasuk metode pengobatannya. Di akhir kajian, Ibnu Thufail menutup
dengan pembahasan jenis-jenis penyakit badan akibat faktor ekternal dan cara
pengobatannya dan tentang racun yang terbagi dalam empat puluh bab. Dan tentu
masih banyak karya ulama terdahulu di bidang eksakta dan humaniora, seperti
karya Ibnu Sina, Abu Qasim al Zahrawi, al Razi dan lainnya.
Dari sini, dunia pesantren dewasa ini sebenarnya
sudah melakukan peng-integrasi-an ilmu-ilmu pengetahuan eksakta, humaniora dan
agama dengan hadirnya sekolah-sekolah formal di lingkungan pesantren. Baik MTs,
MA dalam kementrian agama, atau SMP, SMA dan SMK dari kemendikbud. Namun, yang
saya tekankan disini adalah kajian-kajian eksakta dan humaniora yang
bersumber langsung dari kitab kuning atau ( kutub al Turats ). Setidaknya
kita bisa memberi bekal informasi kepada para santri bahwa ulama-ulama kita
dahulu tidak sekedar menguasai ilmu-ilmu agama, namun mereka pakar bahkan
menjadi peletak utama dasar-dasar ilmu-ilmu modern. Sehingga akan lahir
generasi santri yang memiliki wawasan keilmuan multi disiplin. Wallahu A’lam
bi Shawab.
0 Komentar