SANTRI dan TAHUN BARU MASEHI
a photo by : @riesgabriel19
Oleh : Firman MaulanaTepat sehari sesudah perayaan Natal dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, Saya dan teman-teman sekelas mendapat ilmu baru dari seorang guru yang kebagian jam terakhir pelajaran: Bapak Miswari. Beliau adalah guru biologi kami. Uniknya, meski pada saat itu pelajarannya adalah biologi, tapi beliau tidak membahas tentang biologi, melainkan membahas tentang perayaan Natal dan tahun baru. Beliau menceritakan tentang dialog yang dilakukan oleh seorang Pastur dengan seorang Kiai. Kiai itu bertanya kepada seorang Pastur itu, “jenengan kalau malam Natal, apa yang dilakukan?”. “ya, tidak ada Kiai. Saya pergi ke Gereja untuk berdoa, dan kemudian pulang”. Karena belum puas, Kiai itu tanya lagi. “kalau siang harinya?”. “ya, sama Kiai. Saya ke Gereja, dan kemudian pulang setelah berdoa. Makanya, Saya sangat berterima kasih kepada Kiai dan umatnya karena telah sudi merayakan hari besar kami, (termasuk tahun baru, pen.)”. Kiai itu merasa di terkam hatinya setelah mendengar jawaban itu.
Dialog
tersebut sudah jelas kemana arahnya: membuat rendah posisi Muslim. Tapi kita
tidak sadar akan hal itu. Padahal kita sudah melakukan aktivitas Natal-an
dan Tahun baru-an setiap tahunnya. Ketika di tanya, kenapa kamu kok
merayakan tahun baru masehi? Itukan perayaan umat Kristiani?. Jawabnya
pasti, kita kan negara plural-demokratis, ya, gak masalah dong. Itukan
termasuk menghargai dan menghormati hak orang lain juga?. Kita sadari,
bahwa jawaban mereka sangat intelektualis.
Namun ada yang tertinggal dalam statement mereka. Apa itu? Mereka telah
kehilangan identitasnya. Maka dari itu, guru kami mengatakan kepada kami. “Kita
sebenarnya lupa diri”.
Kita
garis bawahi kata lupa diri yang disampaikan Pak Miswari. Maksud dan
tujuan dari pernyataan tersebut tidak lain adalah untuk sebuah kritikan kepada
aktivitas kita selama ini. Lupa diri yang dimaksud dalam pernyataan Pak Miswari
adalah hilangnya identitas seorang Muslim yang seharusnya menjadi prioritas
utama. Misal, kita malah sibuk mempersiapkan datangnya tahun baru masehi dari
pada sibuk mempersiapkan datangnya tahun baru hijriyah. Nah, dengan adanya
tahun baru. Dengan adanya Natal. Dan dengan adanya budaya non-Islam yang
mendapat legalitas dari pemerintah, dan bahkan hal itu mendapat apresiasi
dengan dicantumkannya hari-hari besar, seperti Natal, sebagai hari libur
nasional demi memperingatinya, telah membuat kita lupa diri dan hanyut dalam
perayaan ritual keyakinan mereka (non-Islam). Sedangkan ketika hari-hari besar
Islam, seperti Maulid ar-Rasul dan tahun baru hijriyah, misalnya,
terlalu sedikit umat Islam yang mempunyai perasaan antusias terhadap perayaan
mereka sendiri. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, mereka malah bersikap skeptis
terhadap hari-hari besar Islam. Kemudian, yang menjadi pertanyaan kita: mengapa
mereka bersikap demikian?
Sikap
dan perilaku umat Islam yang lebih mementingkan tahun baru masehi dari pada
tahun baru hijriyah, yang lebih mementingkan diri untuk berlibur merayakan
Natal dari pada menghibur hati dengan sholawat saat perayaan Maulid Nabi SAW., telah
membuat setan bersorak-sorai, karena umat Islam sudah masuk ke dalam perangkapnya.
Hal ini tentu ada faktor-faktor yang
menyebabkan umat Islam lupa diri. Prof. Dr. Kuntowijoyo menulis dalam
bukunya, bahwa “manusia telah hanyut dalam modernitas zaman” (Muslim
tanpa Masjid: Yogyakarta, IRCiSoD, 2018). Di dalam kemodernan, ada 3 hal
yang membuat manusia menjadi lupa diri. Pertama, Kecanggihan teknologi. Kelahiran
teknologi baru yang lebih canggih dari tahun-tahun sebelumnya telah membuat
manusia lupa diri. Lupa diri dari
identitas dan lingkungannya. Seperti anak desa yang sekarang mayoritas
memilih membuat budaya berdiam diri di rumah bersama smartphone-nya.
Padahal kita tahu, bahwa dalam historia yang sudah mafhum di telinga
kita, anak desa dulu lebih suka memilih berkumpul dan bermain bersama teman
sebayanya. Tapi sekarang mereka sudah dilupakan oleh kemodernan. Sama halnya
dengan Muslim. Sekarang, umat Islam memilih aktif merayakan tahun baru masehi
dari pada merayakan tahun baru hijriyah. Hal ini disebabkan oleh teknologi smartphone yang telah menghasut
mereka untuk lebih antusias merayakan perayaan yang bukan perayaannya (sebagai
Muslim).
Kedua,
pergaulan bebas. Zaman yang berubah dari bentuk awalnya, telah membuat
manusia berubah pula dari kebiasaan awalnya. Dulu, zaman tidak bisa melakukan
komukasi semudah seperti zaman sekarang. Istilah pendeknya, zaman dulu sangat
terbatas. Di zaman sekarang, kita bisa berkomunikasi dengan siapapun, orang
manapun, dan berada dimanapun orangnya, dengan mudah. Hal ini disebabkan oleh
adanya teknologi baru seperti samrtphone yang ada fitur internetnya.
Orang yang ada Malaysia bisa kita hubungi dengan hitungan detik sangatlah bisa.
Nah, hal itu sangat berpengaruh terhadap pergaulan kita. Dengan seperti itu,
pergaulan kita dengan orang yang tidak kita kenal dalam bertatap muka sulit
diproteksi. Kita akan mendapatkan kesulitan dalam mencari tahu lebih detail
tentang teman yang berkomunikasi dengan kita. Karena, apabila orang yang
bergaul akrab dengan kita di dunia maya belum tentu benar seratus persen
identitasnya. Bisa jadi dia menyamar untuk mengelabui kita agar masuk dalam
perangkapnya. Dan hal itu terjadi pada umat Islam saat ini. Makanya orang Islam
lebih mementingkan diri untuk bertahun baru (masehi).
Ketiga,
kesalahpahaman dalam memahami sesuatu. Kemodernan juga mengantarkan kita
untuk sesat. Tidak tahu arah. Antara sebuah kebenaran dan kesesatan. Sehingga
yang terjadi adalah kedangkalan berpikir atau disorientasi karena tidak paham
betul terhadap maksud dan tujuan teks. Setelah itu, kita membuat statemen. Baik
membuat statemen di dunia nyata ataupun di dunia maya. Jika sudah demikian,
maka statement yang kita buat tidak sesuai ajaran yang sebenarnya. Ketika
sudah tidak benar, maka hoax-lah yang akan tersebar. Misal, ada orang
yang mengatakan, bahwa “kita tidak apa-apa ikut merayakan tahun baru
(masehi). Negara kita kan berlandaskan kebhinekaan. Maka, ya, tidak masalah
orang Islam mau ikut-ikutan. Karena itu adalah ibadah sosial kita. Malahan
dalam Islam tidak ada larangan untuk itu”. Pernyataan tersebut sangat
intelektualis. Tapi, intelektualis yang tenggelam dalam kegagalan paham. Mari
kita luruskan bersama pemahaman mereka yang demikian itu.
Seperti ini, merayakan
tahun baru memang tidak menjadi permasalahan. Tapi, yang menjadi permasalahan
disini adalah cara dalam merayakannya. Kita dianggap tidak membuat permasalahan
apabila perayaan tahun baru yang dilakukan semata-mata hanya mengharap ridla
Allah dan ingin memulai tahun baru dengan niat yang baru. Seperti sholawatan,
misalnya. Itu tidak masalah. Karena alasan tersebut mengacu pada kaidah fikih
yang berbunyi, al-umuru bil maqasidi. Setiap perkara tergantung
tujuannya (Kitab Faraid al-bahiyah). Namun, realitas yang terjadi di
lingkungan kita tidaklah sama seperti yang diterangkan di atas. Kegiatan tahun
baru-an yang menjadi rutinitas masyarakat kita adalah foya-foya.
Menghambur-hamburkan uang. Mabuk-mabukan. Trek-trekan (balap liar). Dan
aktivitas maksiat lainnya. Hal ini kalau dibiarkan salah pemahaman mereka, maka
akan berimbas pada terlaksananya aktivitas maksiat selanjutnya.
Setelah
itu, kita harus mempertanyakan pula tentang legalitas umat Islam ikut
memperingati maupun merayakan kegiatan-kegiatan ritual agama lain. Seperti apa?
Pertama, yang harus menjadi titik tekan adalah kata memperingati. Kata
merayakan dengan memperingati sangatlah berbeda maknanya. Memperingati dalam
hal ini adalah hanya ikut menghormati. Ikut memperingati perayaan agama lain
tidak masalah. Karena itu merupakan bagian dari sikap toleransi kita terhadap
perbedaan agar terjalin kehidupan yang rukun. Tapi hanya sekedar memperingati
atau menghormati saja. Dan yang kedua, kita garis bawahi kata merayakan.
Kata ini memiliki makna konotatif, yakni
ikut terkait dalam pesta dan ritual yang menjadi rutinitas agama lain. Dan itu
tidak diperbolehkan dalam agama. Karena menyangkut keimanan. Prof. Dr. Buya
Hamka mengatakan, bahwa toleransi itu diaplikasikan ketika tidak berkaitan
dengan keyakinan. Oleh karena itu, hal tersebut di atas tidak diperbolehkan
karena takut menggoyahkan keyakinan kita sebagai umat Islam.
Jadi
pada intinya, peralihan zaman telah membuat manusia menjadi lupa diri terhadap
siapa dirinya. Oleh karenanya, sajian-sajian yang sudah menjadi santapan pahit seorang
Muslim di akhir tahun harus di cegah dengan kembali pada jati dirinya.
Gencarkan antusiasme kita untuk perayaan hari besar Islam. Agar simbolisimbol
keagamaan agama kita semakin terang-benderang dan semoga saja menjadi pemikat
hati seseorang untuk menjadi muallaf.
Sukorejo, 28 Desember 2018
[i] Merupakan nama pena A. Firman Maulana, Sumenep, Madura. Dia
merupakan aktivis pergerakan santri milenial pesantren. Dan merupakan Mahasiswa Universitas
Ibrahimy Sukorejo.
0 Komentar